Kacamata Sekar

beginilah kacamataku memandangmu

Selasa, 26 April 2016

Pelopor vs Pengekor, Pilih Mana?

Namanya Al-Miqdad bin al-Aswady atau biasa dikenal dengan Miqdad bin Amr.

Ialah contoh pribadi dengan keteguhan iman dan pendirian. Pengalaman hidupnya menjadi role model yang tak habis-habisnya. Abdullah bin mas’ud sampai memujinya dengan berkata, “aku menyaksikan perjuangan miqdad, sehingga aku lebih suka menjadi sahabatnya dari seisi bumi”

Semangat yang menggelora dalam dirinya membuat Rasulullah semakin yakin untuk maju dalam arena peperangan. Merasuk pula dalam jiwa setiap pasukan muslim, hingga pada ruh mereka, hanya tersisa gelora kemenangan di depan mata.

Jika Miqdad berhasil memupuskan keraguan dan menggelorakan semangat yang berapi-api, maka Abu Dzar Al Ghifari juga tak kalah bersemangatnya. Ia datang seorang diri dengan keringat menderas di tengah terik dan panas tanah Mekkah pada suatu hari demi mengucap syahadat di hadapan Rasulullah. Lalu Abu Dzar kembali ke kotanya.

Kemudian setelah sekian lama tak muncul, satu barisan panjang yang terdiri dari para pengendara dan pejalan kaki menghampiri kota Madinah. Derap langkah rombongan besar itu mengepulkan debu hingga mengaburkan pandangan penduduk Madinah untuk melihat siapakah mereka yang dating pada tengah siang yang demikian menyengat? Seandainya bukan karena suara takbir mereka yang menggema, pasti sudah disangka musuh.

Dan ternyata, mereka adalah kabilah Ghifar dan Aslam, para lelaki, perempuan, serta anak-anak dengan pemimpin rombongannya yaitu seorang pria dari kabilah yang terkenal sebagai komplotan perampok paling ditakuti, kaki tangan setan: Abu Dzar Al Ghifary.

Pria yang datang seorang diri demi mengikrarkan keimanannya, kemudian kembali lagi bersama satu rombongan besar kaum muslim yang berhasil direkrut olehnya. Seorang diri!

Tidakkah kita ingin ada Miqdad-Miqdad dan Abu Dzar-Abu Dzar berikutnya pada masa ini? Hingga hadirnya mereka kelak menjadi contoh yang jelas bagaimana sosok pelopor sanggup membawa angin perubahan tanpa banyak bicara.

Teori Telur Columbus

Barangkali analogi sederhana telur Columbus bisa membantu kita untuk semakin memahami kehadiran pelopor yang sesungguhnya begitu dinanti-nanti, sebab cara berpikirnya yang revolusioner.

Ketika orang-orang diam kehabisan akal bagaimana caranya membuat sebutir telur mampu berdiri di atas meja, maka dengan tenang Columbus mengambil telur itu, sedikit memecahkan bagian bawah telur, kemudian menaruhnya di atas meja. Telur itupun berdiri tanpa perlu dipegang.

“Sebab kalian terus-menerus berada pada barisan pengekor, tidak pernah berani menjadi pelopor maka bagaimana membuat telur ini berdiri dengan cara yang sangat sederhana saja, kalian tak sanggup." ucap Columbus santai seraya meninggalkan kerumunan orang yang menahan malu.

Siapa Bilang VOC Sudah Pergi dari Indonesia?

Percaya atau tidak, sampai sekarang rakyat Indonesia terus dilatih bermental Inlander, menjadi pengekor sejati dari orang-orang bernafsu buas dan serakah.

Setelah sekian lama tanah Nusantara dijajah asing, munculah momen proklamasi, lalu merdeka sudah bangsa ini atas intervensi semena-mena yang divisualisasikan dengan tanam paksa, kerja tanpa kenal waktu dan tenaga, fisik serta sumber daya alam diperas habis-habisan. Sekarang sudah tidak lagi, sudah merdeka, sudah bebaslah Nusantara dari kaki Barat yang hobi sekali menginjak-injak.

Eh, tapi tunggu dulu. Sudah yakin betul kalau bangsa timur nan subur ini merdeka sepenuhnya? Ataukah masih ada perbudakan yang sama persis namun beda bentuk visualnya?

VOC datang ke Indonesia atas nama “dagang”, berbisnis, melakukan jual beli, mendapat keuntungan, sampai kemudian rasa tidak puas membuat kaki mereka bercokol di negeri ini, dan membuat makar.

Sejatinya, VOC tak pernah sekalipun meninggalkan tanah Nusantara. Bodoh sekali jika mereka pergi tanpa membawa emas dari negeri yang setiap jengkal tanahnya tidak pernah berhenti mengalirkan uang. Jika VOC pergi hanya bersebab tombak, bambu runcing, dan parang para pahlawan, sama saja mereka mengkerdilkan bangsa ini. Indonesia tidak pernah bisa diabaikan begitu saja.

Memang benar, VOC, Belanda, dan Jepang hengkang dari negeri ini, tidak lagi tinggal nyaman di rumah-rumah mewah yang dibangun dengan keringat pribumi, setelah para pahlawan dengan gagah mengusir mereka.

Tapi ternyata, VOC kembali lagi ke Nusantara dengan wajah baru, teknik yang tak lagi sama dengan masa lalu, strategi perang kekinian yang jauh dari perkiraan: perusahaan property, bank, hampir seluruh kebutuhan sandang, pangan, dan papan digerakkan oleh bayang-bayang VOC.

Mengapa bayang-bayang?
Karena rakyat pribumi tak pernah bisa melihat keberadaan mereka, tapi sesungguhnya sosok penjajah itu terus bercokol, mengikuti ke manapun arah bangsa ini akan di bawa. Oh, tidak, bahkan mereka sendirilah yang menahkodai bangsa ini.

Semoga hati kita masih peka untuk merasa sakit. Sampai di kemudian hari kita tiba pada satu momentum untuk bangkit, dan lantang bersuara: LAWAN!

1 Ons Kesadaran Membutuhkan 1 Ton Pendidikan

Mari berkenalan dengan Raja Shehadeh. Ialah penulis buku Walk on the Vanishing Land yang melegenda. Raja Shehadeh menceritakan tentang kebiasaan yang ditanamkan orang-orang Palestina pada para pemudanya. Melalui ia, kita akan belajar mengenal bagaimana para pelopor sejati (yang juga petarung hebat) menempa dirinya bersama kehidupan sesungguhnya yang sudah alam sediakan.

Sarha

Sarha adalah pengembaraan seorang diri, menelusuri padang pasir dan jalan-jalan bebatuan untuk berkunjung ke rumah salah seorang kerabat, yaitu kakek, nenek, paman, bibi atau seorang kenalan dari keluarga. Bukan destinasi yang menjadi patokan, tapi peristiwa penuh hikmah yang dirangkum sepanjang perjalanan.

Bukan perkara mudah melintasi padang pasir. Ia merupakan sebuah perjalanan berbahaya menghadapi ular, kalajengking, badai pasir, dinginnya malam, terik siang yang membakar. Selain ketrampilan teknis yang dibutuhkan untuk survival, Sarha membantu para pengembara mengamati apa yang selama ini terlewat dari indera. Suara angin, butir-butir pasir yang beterbangan, gerakan binatang melata, gesekan kaki, jejak yang tertinggal di padang.

Belajar menangkap gerakan alam yang paling halus, berarti belajar mendengarkan apa yang mungkin terlewatkan.

Barangkali masing-masing dari kita perlu menantang ego strength untuk tidak melulu duduk nyaman dan hanya menonton kerabat sendiri diperbudak kekuasaan gaib yang ratusan tahun bercokol di negeri ini.

Beruntung, Sarha tak pernah meloloskan para pelakunya dengan begitu mudah. Perjalanan tanpa kendaraan itu dihabiskan selama berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan. Ketika pertama berangkat, para pengembara hanyalah sosok kurus, ceking, lemah, tak dilirik sama sekali, maka Sarha akan mengubahnya di kemudian hari menjadi sosok yang tak akan pernah lagi sama dengan sebelumnya: tubuh kekar, berotot, kuat, garis wajah keras.

Lantas bagaimana dengan jiwa para alumnus Sarha?

Para pengembara hasil didikan Sarha tak akan mudah goyah pendiriannya. Mereka akan selalu siap bertempur bahkan ketika sedang nyenyak tertidur. Mereka akan berdiri dengan cara pandang luas, sikap yang bijak, dan hati yang demikian lapang.

Tidakkah kita merindukan para pengembara yang memiliki jiwa pelopor seperti ini?

Pendidikan semisal Sarha ini, yang kemudian mampu mengubah tidak hanya alur berpikir saja, tapi juga keseluruhan simpul kesadaran, tak bisa dirasakan hasilnya dalam waktu satu dua hari, satu dua pekan, satu dua bulan, satu dua tahun. Boleh jadi akan memakan waktu belasan, bahkan puluhan hingga ratusan tahun? Who knows

Orang-orang yang sudah jelas bekerja, berusaha mencapai atau mengubah sesuatu saja belum tentu berhasil. Apalagi yang tidak bergerak sama sekali? Kita hanya perlu dua kunci untuk sampai pada hasil yang diinginkan: keberanian untuk memulai dan kesabaran terhadap prosesnya.

Ternyata, Indonesia Punya Gen Pelopor Terbaik!

Kalau Barat dengan bangga mempersembahkan X-Man, Captain America, Superman-Batman untuk menjadi figure hebat yang mampu menumpas kejahatan, maka Indonesia juga punya pemuda-pemuda yang memiliki kekuatan super melebihi tokoh fiktif Hollywood. Tidak percaya?

Kekuatan super para pemuda ini bukan dengan terbang, hinggap dari satu gedung ke gedung lain, bisa menghancurkan lawan dalam hitungan menit dengan tinju maut, bukan seperti itu. Apa yang para pemuda ini punya?

Keberanian, kreativitas, dan konsistensi.

Merekalah para pemuda yang bergerak dalam percaturan ekonomi negeri, yang kelak membumikan kebaikan ke seluruh dunia. Mereka melakukan kerja-kerja besar, bukan untuk menguasai, menginjak-injak yang bawah, dan memeras kekayaan Nusantara. Mereka hadir sebagai solusi agar masyarakat pribumi tak lagi menengadah pada asing, agar masyarakat pribumi tak lagi diperbudak kepentingan personal para pemuas nafsu yang hidupnya seperti bayang-bayang itu.

Generasi Produktif ini menamai diri mereka sebagai Global Entrepreuner Profesional –biasa disingkat GenPro– yang produktif, proaktif dan profesional.. Para pemuda yang tak hanya punya target berbisnis, menyejahterakan rakyat di negeri sendiri. Tapi juga menyebarkan nilai kebaikan universal dengan sebaik-baik usaha dan hubungan dengan Sang Pencipta.

Tidakkah Anda ingin mengenal siapa para pemuda pelopor ini? Tunggu! Sebelum bertemu mereka, ada baiknya Anda yakinkan diri dulu, apakah ingin jadi pelopor atau pengekor?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar