Kacamata Sekar

beginilah kacamataku memandangmu

Selasa, 26 April 2016

Bulan Nararya; Psikologi dalam Karya Seni

Ada aksioma yang berkembang dari Sigmun Freud bahwa penulis, penyair atau sastrawan adalah pelamun yang diterima dan disahkan masyarakat. Kepribadiannya memang tidak ada yang berubah. Hanya hasil lamunannya saja yang sukses dipublikasikan. Menggelikan, tapi kalau saya pikir-pikir, lumayan seru juga disebut begitu. Toh sampai saat ini, apa yang dilamunkan itu malah dinikmati khalayak. :D hehe. 

Dua profesor sastra, Wellek dan Warren menolak keras pendapat Freud. Apakah pengarang bisa disamakan dengan seorang yang mengalami halusinasi. Artinya, apakah dengan begitu pengarang tidak bisa lagi membedakan kenyataan –khayalan, harapan– kekhawatiran. Yang diungkapkan pengarang bukanlah halusinasi, melainkan kemampuan berimajinasi.

Konflik beragam hasil dari imajinasi, hasil riset, atau hasil interaksi sosial di lingkungan masyarakat dapat membuat novel ini kaya rasa. Seperti tokoh Nararya dengan segala koherensi dan kompleksitas kehidupan yang dilaluinya. Sinta Yudisia berhasil menyajikan teori psikologi dalam balutan jubah estetika yang menawan. 

Saya pikir, Rinai merupakan karya perdana Sinta yang dengan sengaja menampilkan karakter tokoh melalui bidang yang memang sedang ia tekuni saat ini di salah satu Universitas di Surabaya. Setelah novel Rinai, Sophia & Pink, kemudian inilah novel berikutnya yang menonjolkan ilmu psikologi. Bulan Nararya memenangkan juara ketiga dalam kompetisi menulis “Tulis Nusantara 2013” yang diselenggarakan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.

Judul                  : Bulan Nararya
Penulis               : Sinta Yudisia
Sampul              : Paperback (softcover)
Jumlah halaman: 256 hal
Penerbit             : Indiva Media Kreasi
Waktu terbit      : September 2014
ISBN                 : 139786021614334
Harga                : Rp 46.000

Bulan-NararyaDunia Klinis dan Penderita Skizophrenia

Kisah tentang keseharian di sebuah Yayasan bagi para penderita gangguan jiwa (skizophrenia). Nararya, seorang terapis yang bekerja di Yayasan milik Bu Sausan, bersama sahabatnya, Moza. Di klinik tersebut, ditampung para penderita keterbelakangan mental yang terlantar di pinggir jalan, maupun yang sengaja diantar oleh keluarganya untuk mendapat perawatan.

Saya menikmati kejadian demi kejadian di klinik tersebut. Bagaimana proses Nararya membantu memulihkan kondisi psikis seorang gadis kecil yang beranjak remaja bernama Sania. Mencontohkan cara berkomunikasi yang baik, berinteraksi dengan orang-orang, makan, mengenal alat dapur, cara menceplok telur, dan bentuk akivitas keseharian yang lain.

Upaya-upaya penyembuhan bukan berada dalam ruang-ruang terapi, bukan berada dalam proses dialog selama dua jam, bukan pada upaya kami menampilkan profil kepribadian atau inteligensi di atas kertas. Upaya penyembuhan itu ada di sini. Di dapur umum, di antrian kamar mandi, di kelas belajar keterampilan handmade atau melukis.

Memahamkan makna sabar ketika berdiri di depan kompor, apa yang dinamakan sabar saat mencoba berdamai dengan sesuatu, seperti terinjak kaki, gosong masakan, terciprat minyak panas, atau masakan yang tak sesuai dengan yang diharapkan. Sabar adalah ketika ia mampu mengendalikan diri, tidak berteriak-teriak menjerit ketika berhadapan dengan sesuatu yang asing. (hal.168-169)

Betapa sabar dan penuh dedikasi seorang Nararya. Berani maju dengan proyek transpersonalnya untuk menyembuhkan para penderita skizophren, meski mendapat penolakan penuh dari pemilik Yayasan. Gigih, dan berani berkorban. 

Mengingat Nararya adalah seorang terapis yang sering menasihati orang, memberikan masukan, tapi dirinya sendiri dilanda kemelut rumah tangga yang tak sederhana. Nyatanya, ia tetap mampu menyelesaikan pekerjaan dengan totalitas tinggi, meskipun dalam perjalanannya, tentu lelah tak hanya menyerang fisik. Tapi juga hati dan pikiran.

Membangun Karakter Tokoh

Pembicaraan tentang tokoh bisa dianggap campuran dari tipe yang sudah ada dalam tradisi sastra. orang-orang yang diamati oleh pengarang, dan diri pengarang sendiri. Prof Wellek dan Warren mengatakan bahwa ada hubungan antara novelis dan tokoh-tokoh yang muncul dalam karyanya. 

Semakin banyak dan berbeda-beda watak tokohnya, semakin tidak jelas sosok penulisnya. Shakespeare hilang dalam drama-drama ciptaannya. Tidak satu drama atau anekdot pun tentang pribadi shakespeare yang dapat memberikan gambaran jelas tentang pribadi Shakespeare, sejelas misalnya pribadi Ben Jonson.

Ben Johnson niengangkat rakyat biasa dalam tema-tema dramanya. Ben Johnson dalam karyanya Every Man His Humour, menceritakan suatu teori yang menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat zat-zat yang disebut humours, dan terdiri atas zat. Keberadaan ke empat zat tersebut harus seimbang pada diri setiap manusia. 

Jika tak seimbang, atau jika seorang manusia kelebihan suatu zat, dapat mengakibatkan orang tersebut akan terlalu murung, gembira, marah atau terlalu malas. Dalam cerita tersebut, terkesan seolah-olah tokoh-tokohnya dipaksa berbicara oleh sang penulis. Cerita tersebut merupakan hasil temuan dan kreasi intelektual sang penulis. Berbeda dengan Shakespeare yang membuat tokoh-tokohnya sendiri yang seolah berbicara.

Soal kekuatan karakter, saya hands-up deh. Sinta Yudisia oke punya.

Proyeksi Sifat dan Emosi

Nah, yang menarik dari Bulan Nararya (dan sebagian besar karya Sinta Yudisia), kehadiran tokoh-tokoh yang menghiasi tulisan beliau bisa diinterpretasikan sebagai proyeksi sifat-sifat atau potensi diri pengarang. Hanya dari sisi diri yang dilihat pengarang sebagai suau potensi yang bisa menjadi tokoh yang hidup: bukan tokoh datar, melainkan tokoh bulat. 

Penulis realis bleh dikatakan membuat pengamatan terhadap perilaku masyarakat dan menyajikan rasa empati. Sedangkan penulis romantik (penulis yang banyak terpengaruh karya-karya periode Elizabeth) membuat proyeksi perasaannya. Misalnya, Johan Wolfgang von Goethe yang membuat tokoh-tokoh hebat dalam karya-karyanya, merupakan proyeksi sifat-sifat Goethe sendiri.

Pada tahap awal karya sastra dianggap sebagai proyeksi pengarang. Aspek-aspek emosi yang terdapat dalam karya itu dianggap mewakili emosi-emosi pengarang. Dengan begitu, latar belakang pribadi pengarang yang menjadi beban penyelidikan. Lewat pendekaan psikologi, diharapkan dapat terungkapkan bagaimana pengalaman pengarang amat menentukan isi karyanya, seperti gaya, tema, dan penggambaran watak para tokoh ciptaannya.

Saya jelas tidak tahu sifat-sifat seorang Sinta Yudisia. Siapa gue? Haha. Tapi berhubung saya penggemar karya-karya Sinta, selalu mengikuti kabar tentang beliau, sekaligus punya semua karya beliau (niat banget gue), Sinta gemar sekali menggambarkan tokoh wanita dengan kekuatan penuh (powerful), berdaya, tough, berpendidikan, menyimpan karisma, dan segala bentuk keistimewaan seorang wanita. Tidak lantas menjadi simbol feminis. Tidak mendominasi. Tetap berada dalam porsinya. Kalau kemudian saya berasumsi, seperti itulah proyeksi potensi diri yang beliau miliki, gapapa dong? :D

Bahkan saya menggali habis-habisan, siapa saja penulis favorit dan buku bacaan referensi beliau. Saking saya geregetan, kenapa setiap tulisan beliau selalu punya ruh? Oh, mungkin lebih tepat bertanya: BAGAIMANA BISA? BAGAIMANA CARANYA?

Hassshh.. saya pengen ketemu bunda Sinta suatu saat nanti. Boleh dong prajurit ketemu sama pimpinannya. *gue kan flp bok.. wkwk*

Posisi Psikologi dalam Bulan Nararya

Kadangkala, ada teori psikologi tertentu yang dianut pengarang secara sadar atau samar-samar. Teori ini cocok untuk menjelaskan tokoh dan situasi cerita. Nararya yang terbuka, ceplas-ceplos, ceria, tiba-tiba menjadi mudah terguncang jiwanya, mudah emosi, lalu berakhir dengan kesedihan panjang dan berlarut-larut. Akibat perceraiannya dengan sang suami yang sudah 10 tahun bersama. Kemudian didapati bahwa mantan suaminya menikah dengan sahabat baik Nararya, yaitu Moza.

Persis seperti Oscar Campbell yang berusaha menunjukkan bahwa Jaques dalam drama Shakespeare As You Like It adalah “kasus melankoli yang tidak alami, yang timbul karena tekanan phlegm”. Atau seperti Lily Campbell yang mengatakan bahwa Hamlet cocok dengan “tipe periang dan optimis yang mengalami tekanan melankoli”.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah pengarang berhasil memasukkan psikologi ke dalam tokoh Nararya, Moza, Angga, Sania, Yudhistira, Diana, Bu Weni, Farida, Anjani, Srikandi, dan tokoh lain? Kemudian hubungan antartokoh beserta konflik dan sudut pandang setiap tokoh. 

Kalau pembaca tidak tahu bahwa Sinta Yudisia sedang menempuh pendidikan pada bidang psikologi, tentu kita bisa mengatakan bahwa ilmu-ilmu psikologi yang ada dalam novel ini hanya berdasarkan hasil riset semata. Namun, kalau benar-benar hanya berdasarkan hasil riset dan pengetahuan umum saja, cara Sinta memainkan ekspresi dan gerak tubuh tokoh melalui kalimat itu sungguh lihai.

Jadi, sekedar tahu teori psikologi saja tidak cukup kalau masih kesulitan menyusun kalimat agar para tokoh menjadi hidup dan berkarakter kuat. Pengetahuan itu hanya berfungsi sebagai bahan, seperti informasi lain yang sering kita dapatkan dalam karya sastra. 

Jika tidak diikuti dengan keterampilan menghadirkan nuansa pergolakan jiwa dan pikiran ke dalam setiap peristiwa dan hubungan antartokoh, maka karya sastra tersebut belum sah dikategorikan sebagai sastra-psikologi. Menurut saya ini.. hehe.

Selanjutnya, pembaca bisa melacak dan mengungkapkan kebenaran teori psikologi yang diterapkan pengarang, sejauh mana data-data psikologi disajikan. Hal tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan persamaan dan memisahkan hubungan antara pengarang dan karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar